Punakawan
Panakawan adalah sebutan
umum untuk para pengikut ksatriya dalam khasanah
kesusastraan Indonesia, terutama di Jawa. Pada umumnya
para panakawan ditampilkan dalam pementasan wayang, baik itu wayang
kulit, wayang
golek, ataupun wayang
orang sebagai
kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana. Namun di samping itu, para
panakawan juga berperan penting sebagai penasihat nonformal ksatriya yang
menjadi asuhan mereka.
Peran Punakawan
Istilah
punakawan berasal dari kata pana yang bermakna "paham", dan kawan
yang bermakna "teman". Maksudnya ialah, para panakawan tidak hanya
sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga memahami apa yang sedang
menimpa majikan mereka. Bahkan seringkali mereka bertindak sebagai penasihat
majikan mereka tersebut.
Hal yang paling
khas dari keberadaan panakawan adalah sebagai kelompok penebar humor di
tengah-tengah jalinan cerita. Tingkah laku dan ucapan mereka hampir selalu
mengundang tawa penonton. Selain sebagai penghibur dan penasihat, adakalanya
mereka juga bertindak sebagai penolong majikan mereka di kala menderita
kesulitan. Misalnya, Sewaktu Bimasena kewalahan
menghadapi Sangkuni dalam perang Baratayuda, Semar muncul memberi
tahu titik kelemahan Sangkuni.
Dalam
percakapan antara para panakawan tidak jarang bahasa dan istilah yang mereka
pergunakan adalah istilah modern yang tidak sesuai dengan zamannya. Namun hal
itu seolah sudah menjadi hal yang biasa dan tidak dipermasalahkan. Misalnya,
dalam pementasan wayang tokoh Petruk mengaku
memiliki mobil atau handphone, padahal kedua jenis benda tersebut tentu
belum ada pada zaman pewayangan.
Sejarah Panakawan
Pementasan wayang hampir selalu
dibumbui dengan tingkah laku lucu para panakawan. Pada umumnya kisah yang
dipentaskan bersumber dari naskah Mahabharata dan Ramayana yang berasal
dari India. Meskipun
demikian, dalam kedua naskah tersebut sama sekali tidak dijumpai adanya tokoh
panakawan. Hal ini dikarenakan panakawan merupakan unsur lokal ciptaan pujangga
Jawa sendiri.
Menurut
sejarawan Slamet
Muljana, tokoh
panakawan muncul pertama kali dalam karya sastra berjudul Ghatotkacasraya karangan Mpu
Panuluh pada zaman Kerajaan
Kadiri. Naskah ini
menceritakan tentang bantuan Gatotkaca terhadap
sepupunya, yaitu Abimanyu yang berusaha
menikahi Ksitisundari putri Sri
Kresna.
Dikisahkan
Abimanyu memiliki tiga orang panakawan bernama:
·
Jurudyah
·
Punta
·
Prasanta
Ketiganya
dianggap sebagai panakawan pertama dalam sejarah kesusastraan Jawa. Dalam kisah
tersebut peran ketiganya masih belum seberapa, seolah hanya sebagai pengikut
biasa.
Panakawan
selanjutnya adalah Semar, yang muncul
dalam karya sastra berjudul Sudamala dari zaman Kerajaan Majapahit. Dalam naskah ini, Semar lebih banyak
berperan aktif daripada ketiga panakawan di atas. Pada zaman selanjutnya, untuk
menjaga keterkaitan antara kedua golongan panakawan tersebut, para dalang dalam
pementasan wayang seringkali menyebut Jurudyah Puntaprasanta sebagai salah satu
nama sebutan lain untuk Semar
Gara-Gara
Para dalang dalam setiap
bagian pertengahan pementasan wayang, hampir selalu
mengisahkan adanya peristiwa gara-gara yaitu sebuah keadaan di mana
terjadi bencana besar menimpa bumi. Antara lain gunung
meletus, banjir, gempa
bumi, bahkan sampai
korupsi yang
merajalela. Panjang-pendek serta keindahan tata bahasa yang diucapkan untuk
melukiskan keadaan gara-gara tidak ada standar baku, karena semuanya
kembali pada kreativitas dalang masing-masing.
Para dalang
kemudian mengisahkan bahwa setelah gara-gara berakhir, para panakawan
muncul dengan ekspresi bahagia, menebar humor, dan bersenda gurau. Hal ini
merupakan simbol bahwa setelah munculnya peristiwa kekacauan atau kerusuhan
yang menimpa suatu negara, maka diharapkan rakyat kecil adalah pihak pertama
yang mendapatkan keuntungan, bukan sebaliknya.
Akibat
kesalahpahaman, istilah gara-gara saat ini dianggap sebagai saat
kemunculan para panakawan. Gara-gara dianggap sebagai waktu untuk dalang
menghentikan sementara kisah yang sedang dipentaskan, dan menggantinya dengan
sajian musik dan hiburan bagi para penonton.
Daftar Nama para Panakawan
Dalam
pementasan wayang, baik itu gaya Yogyakarta, Surakarta, Sunda, ataupun Jawa
Timuran, tokoh Semar dapat
dipastikan selalu ada, meskipun dengan pasangan yang berbeda-beda.
Pewayangan gaya
Jawa Tengah menampilkan empat orang panakawan golongan kesatriya, yaitu Semar dengan ketiga
anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Selain itu
terdapat pula panakawan golongan raksasa, yaitu Togog dan Bilung.
Pada zaman
pemerintahan Amangkurat
I raja Kesultanan Mataram tahun 1645-1677, seni
pewayangan sempat terpecah menjadi dua, yaitu golongan yang pro-Belanda, dan
golongan yang anti-Belanda. Golongan pertama menghapus tokoh Bagong karena
tidak disukai Belanda, sedangkan golongan kedua mempertahankannya.
Dalam
pementasan wayang
golek gaya Sunda,
ketiga anak Semar memiliki urutan yang lain dengan di Jawa Tengah. Para
panakawan versi Sunda bernama Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu
pewayangan gaya Jawa Timuran menyebut pasangan Semar hanya Bagong saja, serta
anak Bagong yang bernama Besut.
Dalam
pewayangan Bali, tokoh
panakawan untuk golongan ksatriya bernama Tualen dan Merdah, sedangkan
pengikut golongan jahat bernama Delem dan Sangut.
Dalam
pementasan ketoprak juga dikenal
adanya panakawan, namun nama-nama mereka tidak pasti, tergantung penulis naskah
masing-masing. Meskipun demikian terdapat dua pasang panakawan yang namanya
sduah ditentukan untuk dua golongan tertentu pula. Mereka adalah Bancak dan Doyok untuk
kisah-kisah Panji, serta Sabdapalon dan Nayagenggong untuk kisah-kisah Damarwulan dan Brawijaya. bawor adalah wayang
kulit banyumasan punakawan banyumas kisah kisah bawor dadi ratu
0 komentar:
Posting Komentar